TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Purbayu
Budi Santoso menemukan hal aneh ketika menarik uang di anjungan tunai
mandiri (ATM) Jalan Pemuda Semarang, belum lama ini.
"Saya pernah peroleh upal (uang palsu) itu di ATM. Kok ya bisa di ATM ada upal. Ini yang membuat saya heran dan sempat bertanya-tanya," kata pakar ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu kepada Tribun Jateng, Selasa (9/7/2013).
Dia pun kemudian mempertanyakan kepada pihak perbankan itu. Namun petugas pun tidak bisa berbuat banyak dan mengakui kebobolan alias kurang teliti saat menyediakan dana di ATM.
Dan, lanjutnya, baru sekitar lima hari lalu, di sebuah ATM stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dirinya kembali memperoleh upal senilai Rp 50.000. Ia pun cemas maraknya peredaran upal di Semarang akhir-akhir ini.
Didik Hardian (39) warga Jalan Pandanaran I Semarang juga mengaku kerap menerima uang palsu dari ATM. Ia bahkan menyebut sudah belasan kali mengambil uang di ATM dan menemukan beberapa lembar ternyata saat dibelanjakan di supermarket dinyatakan palsu.
Dia pun awalnya sempat mengadu kepada pihak bank bersangkutan. Namun, apa yang diadukan ternyata tidak membuahkan hasil yang menyenangkan. “Pihak bank tidak bisa menggantikan uang palsu itu," kata pengusaha di Kota Semarang itu, Selasa (9/7/2013).
Dia menjelaskan, terakhir kali, dirinya memperoleh tiga lembar upal bernominal Rp 100.000 dan selalu baru diketahuinya saat membelanjakan uang yang baru saja diambil di ATM ke toko tertentu.
"Itu tidak hanya saya alami di ATM Semarang, tapi di Jakarta, Surabaya, maupun Bandung pun pernah," katanya.
Purbayu Budi Santoso menilai peredaran upal semakin sulit terkendali, bahkan pihak perbankan pun menjadi korban. Belum lagi masyarakat yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah yang selalu menjadi sasaran empuk oknum pengedar upal itu.
"Tidak dimungkiri memang, pada bulan puasa jelang Lebaran, oknum pengedar upal makin gencar memanfaatkan momentum itu dan di sinilah perlu usaha keras dari pihak pemerintah menyosialisasikannya kepada masyarakat agar lebih waspada," katanya.
Dia mengatakan, sebagai tindak antisipasi dini, perlu kiranya pula toko-toko kecil menyediakan alat pendeteksi uang dan masyarakat pedagang kecil, khususnya di pasar-pasar tradisional menjalankan imbauan Bank Indonesia (BI) dalam pendeteksiannya, misal dengan meraba maupun menerawang uang yang ditransaksikan.
"Dampak lainnya, meskipun jumlahnya satu berbanding seratus misalnya, akan dapat bahayakan laju perekonomian di Indonesia. Dan yang bertanggung jawab yakni pemerintah karena seakan-akan membiarkan ini terjadi," katanya. (dse/har/ape)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar